Senin, 24 November 2008

Seven Habits of Highly Effective Campaign

Pemilu 2009 sudah dekat, tak pelak lagi warna-warni kampanye pun semakin marak. Kini sadar atau tidak di pinggir-pinggir jalan, kita acapkali menjumpai spanduk atau baligo besar, baik itu bergambar partai ataupun Calon Legislatif yang (tentu saja) berambisi menang dalam pemilu.

Lihatlah jalan di sekeliling lingkungan anda, setiap dua tiga meter kini dihiasi oleh foto-foto orang yang sebenarnya kita tak tahu entah siapa dia, sebagai pengamat politik dari universitas negeri ternama pun saya hanya bisa mengenali sosok-sosok familier saja antara lain Megawati dari PDIP, wiranto dari Hanura, Prabowo dari Gerindra, Asmirandah dari Indosat, juga seekor kera dari XL.

Nampaknya para politikus masih memiliki paradigma yang sama dengan paradigma marketing konservatif yang masih diterima luas sebagai suatu konsepsi dimana semakin banyak iklan maka produk yang diiklankan itu (mudah-mudahan) akan menjadi top of mind di benak konsumen.

Maka sosok-sosok tadipun tampak mengetengahkan posisinya sendiri (positioning) di benak masyarakat. Prabowo mengetengahkan petani, wiranto mengetengahkan hati nurani, megawati mengetengahkan almarhum ayahnya, juga asmirandah dan si kera mengetengahkan tarif murah.

Sebagai pengamat politik dan pemasaran saya melihat hal itu dengan miris, parpol dan tokoh "pemiliknya" mengincar posisi tertentu, dan itu tentunya posisi pemimpin. Pemimpin tentunya memiliki kualifikasi tertentu, dan Top of mind bukanlah suatu kualifikasi tersebut.

Kita bisa menerima pemimpin dengan kualifikasi pernah memerdekakan indonesia, lalu dengan kualifikasi bapak pembangunan. Setelah itu nampaknya pemimpin kita selalu berkualifikasi aneh, seperti berlogat seperti cinta laura, berani nyeleneh, anak mantan presiden, dan memiliki singkatan nama seperti nama kota besar.

Menurut pengamatan saya yang tajam, iklan politik haruslah dibuat meninggalkan kesan. Para politikus harus membangun citra diri sebagai pemimpin yang one of a kind, lihatlah hitler, ia membangun citra diri sebagai seorang diktator yang "berbeda" dengan berani menggunakan kumis konyolnya.

Sebagai pengamat pemasaran dan politik saya merekomendasikan langkah-langkah berikut bagi siapapun capres yang ingin membuat iklan politik. Langkah-langkah ini saya sebut sebagai Seven Habits of Highly Effective Campaign.

Pertama, capres harus bisa berkomunikasi lewat kata-kata, maka kata-kata dalam iklan politik pun harus diingat oleh masyarakat. Coba siapa diantara anda yang mengingat kata-kata prabowo atau wiranto dalam iklannya, bandingkan dengan kata-kata dalam iklan berikut "kamu tidak cocok bekerja di air, kamu cocoknya berdagang..". Maka itu para capres harus mampu menyajikan hal-hal seperti demikian itu.. Misalnya Wiranto bisa berkata "Saya lahir Rabu Pahing, maka saya tidak cocok bekerja di air, saya cocoknya jadi presiden.." maka saya pastikan setiap orang akan ingat terhadap Wiranto.

Kedua, menurut teori Cognitive, iklan terdiri dari aspek audio dan video karena itu penting untuk menggunakan elemen lagu dan visual yang menarik. Saya menyarankan bila kelak ada lagi capres yang memutuskan untuk bernyanyi dalam iklan politik mereka, maka pilihlah lagu yang lebih menarik minat daripada sekedar lagu bimbo, lalu gunakanlah elemen visual yang menarik, sepertihalnya kostum atau stage yang keren. Lihatlah iklan Telkom versi promosi telpon 30 menit bayar 6 menit. Iklan itu mampu menyajikan tontonan tak terlupakan, jingle iklan bernuansa 80an, dengan kostum dan efek visual yang juga 80an, mungkin para capres dapat mencontoh hal ini. Misalnya jingle seperti ini "partaai..partai Gerindra.. Partai baruuu.. Uo.uo..uooow..." tentu saja Prabowo pun harus bergaya eighties saat menyanyikannya. Saya pastikan pula iklan ini akan diingat khalayak ramai dan kanan meninggalkan kesan mendalam serta membuat Prabowo sebagai capres yang ”unik”.

Ketiga, jadilah kontroversial. Kini khalayak dibuat ramai dengan keberadaan iklan PKS yang menyebutkan bahwa Suharto adalah sebagai salah satu pahlawan bangsa. Iklan itu sangatlah kontroversial. Para capres dapat mencontoh hal ini. Maka lain kali mungkin para capres dapat menyebutkan hal-hal kontroversial lainnya, misalkan menyebut Muso atau Aidit sebagai pahlawan nasional atau guru bangsa.

Keempat, jadilah tampak cerdas di depan khalayak. Pemirsa akan menilai kecerdasan dari kata-kata yang digunakan..., gunakanlah kata-kata yang berkesan intelek, perbanyak penggunaan kata serapan yang dipadu dengan satu dua kata berbahasa inggris maka andapun akan terdengar cerdas. Misalkan daripada sekedar mengumbar kata "merdeka!!" di setiap kesempatan mungkin Megawati dapat mencoba berujar seperti: "independensi adalah substansi dasar yang diderivasikan dari adaptasi gramatikal yang mengikat konotasi dan linearitas romantisme vocabulary yang ditarik dari sintaksis-sintaksis penyusun kata dasarnya yang kemudian kita serap ke dalam pola struktur liguistik kita yang kita konvensikan dan diterima sebagai.. Bla..bla..bla.." . Terdengar cerdas bukan.

Kelima, carilah jargon yang tepat. Fauzi Bowo dulu memiliki iklan dengan jargon ”coblos kumisnya” hal ini terbukti efektif, ia toh kini menjadi Gubernur DKI. Maka janganlah ragu-ragu untuk menyertakan jargon-jargon, walaupun terdengar bodoh sekalipun yang penting diingat orang. Misalkan gunakan bagian tubuh anda yang paling dikenal orang, seperti yang dilakukan oleh Fauzi Bowo. Jika anda adalah capres yang – maaf – berpantat besar, maka gunakanlah jargon ”coblos bokongnya”, tentunya foto anda dalam kertas suara pun harus disesuaikan.

Keenam, pilihlah calon wapres yang populer, dan bisa diasosiasikan dengan hal-hal yang baik. Tengoklah sosok Rano Karno dan Dede Yusuf, dua orang itu adalah para wakil, Rano Karno tentu saja terkenal dan namanya kini masih saja diasosiasikan dengan Si Doel Anak Sekolahan, dengan kesan itu orang menganggap Rano Karno sebagai seorang Tukang Insinyur cerdas yang pekerja keras. Begitu juga dengan Dede Yusuf, di tengah masyarakat Jawa Barat yang tengah pusing menghadapi keadaan, maka sosok Dede Yusuf dapat diasosiasikan sebagai iklan Bodrex, sebuah obat sakit kepala, sehingga masyarakat Jawa Barat mengasumsikan kalau Dede Yusuf mampu menghilangkan kepusingan mereka. Begitu juga dengan hal yang harus dilakukan para capres kini.

Ketujuh, bila tak bisa membuat iklan yang keren, maka buatlah iklan yang norak. Lihatlah Roncar, iklannya sangat buruk, jelek sekali, namun siapa yang tak mengingatnya. Iklan Primbon pun buruk, namun semua mengingatnya. Nah bagi anda yang ingin menjadi capres namun merasa mentok tak mampu membuat iklan yang menarik, maka segera buatlah iklan yang norak, maka saya jamin nama anda dan iklan anda akan populer. Hal itu juga tentunya akan mempengaruhi sikap penonton iklan terhadap anda.

Itulah tips yang dapat saya berikan, ketimbang hanya memajang foto di pinggir jalan, membuat iklan dengan kata-kata klise, menyanyikan lagu bimbo, atau terus-terusan memekikkan kata ”merdeka”, lakukanlah langkah-langkah tadi, niscaya anda pun akan segera diingat orang. Demikianlah saya yakin kiranya tips-tips tadi akan sangat berguna, baik itu jika anda ingin menjadi presiden ataupun hanya dalam kampanye ketua RT.

Sabtu, 15 November 2008

Kata-kata

Bagi manusia, kata-kata adalah suatu hal yang penting. Kata-kata adalah yang membedakan kita dari mahluk-mahluk lain. Tumbuhan tentu saja tak dapat berbicara, binatang-binatang kelas rendah seperti semut-semut merah yang berbaris di dinding menatapku curiga pun tak dapat berbicara, hewan yang lebih tinggi seperti hewan reptil, misalkan, cicak-cicak di dinding pun tak mampu berbicara, hal itulah yang membuat mereka diam-diam merayap.

Hewan-hewan yang lebih tinggi tingkatannya ternyata mampu berbahasa, anjing dan lumba-lumba mengenal komunikasi, bahkan kera dapat diajarkan berbahasa isyarat. Namun tak satupun yang mampu berbicara menggunakan kata-kata layaknya manusia.

memang burung beo dan burung kakaktua yang hinggap di jendela pun mampu menirukan kata-kata, namun mereka tak bisa berbahasa.

Bagi kalangan manusia, vocabulary , atau kosa kata dianggap sebagai ukuran kecerdasan, semakin banyak kosakata berarti semakin cerdas seseorang... Hal ini tampaknya tak menjelaskan mengapa orang pintar (pintar bukan pinter) justru sedikit berbicara.

Setiap kata pun memiliki asosiasinya sendiri, asosiasi ini sering kita kenal dengan sebutan "konotasi", berbeda dari denotasi, konotasi menggunakan huruf K dan O sebelum kata "notasi", hal ini berbeda jika dibandingkan dengan denotasi yang justru menggunakan huruf D dan E sebelum kata notasi.

Setiap orang mengenal kata "Kiri" dan "kanan", kiri dan kanan adalah kata petunjuk arah, namun lebih jauh lagi masing-masing kata memiliki konotasinya sendiri, kanan, memiliki konotasi positif, dan kiri memiliki konotasi negatif. Secara sederhana, lihatlah kedua tangan anda, jika anda tak kidal, maka secara default tangan kana digunakan untuk pekerjaan bersih, sementara tangan kiri digunakan untuk pekerjaan-pekerjaan kotor.

Dalam bahasa Inggris, kanan disebut "Right" kata yang sama yang digunakan untuk menyatakan "benar" atau "tepat". Dalam bahasa Latin kanan dan kiri adalah "dexter" dan "sinister", kiri adalah Sinister, bentukan kata yang sama dengan kata "sinis". Di jepang "Kiri" digunakan dalam kata "HaraKIRI" yang berarti bunuh diri, atau "hitoKIRI" yang berarti pembantai. Selama masa perang dingin, Kiri berarti Komunis dan Kanan berarti Liberal. Kita dalam bahasa indonesia pun menggunakan kata kiri untuk keperluan lain, seperti untuk menyatakan "berhenti" saat hendak turun dari angkutan umum (sama halnya dengan kata "belakang" yang berarti tak membayar saat naik angkot).

Saat kata-kata native tak mampu lagi menggambarkan suatu hal maka kita biasanya meminjam atau menyerapnya dari bahasa lain, namun masalah kunjung muncul saat kata-kata serapan langsung dianggap berarti sama dengan kata-kata lokal, karena walaupun demikian lain padang lain belalang, lain lubuk lain ikannya, maka janganlah memancing di air keruh, berbahaya karena air tenang menghanyutkan sementara air beriak tanda tak dalam.

Kata-kata memang kadang memiliki arti ganda, atau ambigu. Ambiguitas berarti makna ganda. Walaupun bermakna ganda namun makananya sering tak jauh dari bentukan katanya seperti buah yang jatuh tak jauh dari pohonnya sehingga saat menggunakan kata ambigu berarti sekali merengkuh dayung dua tiga kali terlampaui.

Hal ini membuat kata-kata menjadi pedang bermata dua. Kata-kata seringkali berbahaya. Benar ungkapan "memang lidah tak bertulang".. Organ-organ tak bertulang di tubuh manusia memang sukar dikendalikan secara sadar dan sering terpancing nafsu sesaat, mengontrolnya kadang tak semudah membalikkan telapak tangan, bahkan seperti menegakkan benang basah saja, jika tak hati hati bisa-bisa terkena getahnya, atau terkena batunya, karena sepandai-pandai tupai melompat akhirnya akan jatuh juga.

Selasa, 11 November 2008

Menuju 2009 - 2014 (Bagian 2)

Artis Terjun ke Legislatif

Belakangan ini kita sering melihat artis yang menekuni bidang politik, entah baru ataupun sudah lama. sangatlah menguntungkan jika partai memilih artis menjadi sebuah calon legislatif, selain diberitakan di media cetak dan elektronik yang bersifat memberikan informasi secara umum, artis juga diberitakan media cetak dan elektronik yang bersifat keartisan. Jadi anggaran kampanye dapat diminimalkan.

Mungkin ini renungan buat kita, apakah artis dapat mewakili kita????
Yah mungkin ya mungkin tidak, semua ini tergantung apa yang menggantung. Jika artis dekat dengan rakyat dan memiliki pendidikan yang memadai maka mungkin dia dapat mewakili kita, tapi jika sebaliknya????

Nah, sekarang pertanyaanya adalah apakah legislatif masih memerlukan artis???
penulis dapat secara tegas menjawab TIDAK, hal ini dikarenakan karena:
1. Anggota legislatif ada yang dapat berakting dengan baik jika menghadapi KPK ( Komisi Pengungkapan Korupsi)*
2. Anggota legislatif ada yang rekaman pembicaraan di telepon lebih seru dibandingkan penyiar radio atau bahkan layanan telepon premium
3. Anggota legislatif ada yang sangat pandai melakukan pose-pose bak seorang model di majalah-majalah dewasa
4. Anggota legislatif ada yang membuat film independent untuk golongan yang berkarya.
Dan lain sebagainya

Nah, tentukan pilihan anda sendiri

*komisi ini sangat berperan dalam mengungkapkan korupsi, sedangkan pemberantasan lebih besar peran pengadilan untuk mendapatkan efek jera.....

sedikit absurb-kan????

Menuju 2009 - 2014 (Bagian 1)

Subsidi Yang Membebani

Mungkin hal ini yang menyebabkan suatu lembaga di negara ini yang berfungsi merencanakan pembangunan perlu beraksi. Aksi yang dilakukan sangat besar dengan membentuk kelompok kerja (pokja) yang membahas satu-persatu kepentingan dan keuntungan subsidi!!!

Nah, sepertinya banyak subsidi di negara ini yang tidak tepat sasaran, kira-kira kalau kita rata-rata, sekitar 55% subsidi tidak tepat sasaran. dalam istilah lain kita melakukan subsidi pada yang tidak seharusnya disubsidi tetapi terlanjur disubsidi.

Apakah lembaga yang mengkaji ini baik????
Dari pengalaman penulis, dalam lembaga ini sering terjadi konflik internal sehingga kebijakan yang diambil kurang lebih adalah kebijakan yang bercampur baur antar kepentingan???(bingungkan)

Apakah hasil yang dihasilkan berhasil????
Kenyataannya hasil yang dihasilkan belum tentu berhasil, hal ini disebabkan oleh :
1. Lembaga yang dikaji (lembaga yang diteliti tidak tranparan)
2. Penulis yang menulis ini menyumbangkan sebuah model simulasi yang mensimulasikan sebuah simulasi dengan batasan rasa ngatuk.

Nah, kita berharap kelak subsidi akan tepat sasaran.

Dari seratus persen subsidi yang diberikan sekitar lima puluh lima persen tidak tepat sasaran, tetapi kita masih untung sekitar empat puluh lima persen tepat sasaran.