Selasa, 09 Maret 2010

Prehistoric intelectuality

Di era nomaden, ketika para manusia purba capek hidup di padang alang-alang yang satu mereka akan pindah ke padang alang-alang yang lain. Ya kadang mereka juga pindah ke stepa, sabana, atau pinggiran hutan.

Awalnya mereka hidup menggelandang tanpa sungkan, toh waktu itu tidak ada istilah gelandangan, tidur di rerumputan dengan beratapkan langit.

Lalu iklim berubah, terjadi pemanasan global, kini banyak tumbuhan paku yang besar-besar pun punah, benua pun bergeser dan padang sabana dan alang-alang pun menipis.

Terjadi krisis, para manusia purba kehilangan tempat yang nyaman untuk berkembang biak. Mereka mengalami krisis privasi, kini dengan tidak adanya alang-alang, rumput gajah, atau tumbuhan pakis raksasa, tak ada lagi yang menjaga privasi mereka pada saat mencoba berkembang biak.

Dengan tidak adanya KTT untuk mengatasi pemanasan global itu dan tidak adanya emisi apapun untuk dikurangi, mereka pun bingung bagaimana mengatasi krisis privasi ini, artinya mereka tak bisa menumbuhkan lagi rumput-rumput, mereka juga tak bisa menanam tumbuhan baru, kan saat itu masih masa berburu dan meramu bukan masa bercocok tanam, jadi mereka merasa belum tiba saatnya untuk menanam tumbuhan.

Ditengah kebingungan luar biasa, biasanya manusia bertambah cerdas, terutama para manusia purba. Mereka selalu bisa memikirkan hal baru yang saat itu belum pernah terpikirkan!

Segelintir kaum yang menjadi lebih cerdas ini lantas disebut kaum intelektual.

Kaum intelektual, entah bagaimana, berhasil membuat suatu bangunan sederhana untuk menjaga privasi mereka saat berkembang biak. Bangunan itu mereka beri nama "kemah" (dalam bahasa Inggris: CAMP).

Maka kemah pun dikenal sebagai rumah bagi kaum intelektual yang cerdas. Untuk lebih menjaga privasi dan kepemilikan kaum intelektual pun menamakan kemah mereka sebagai "kemah kami" (dalam bahasa inggris: "CAMP US").

Kadang ada "CAMP US" yang besar yang dilengkapi dengan lebih dari satu sarana berbiak (dalam bahasa Inggris: F*CK UTILITY), namun untuk menjaga kesopanan berbahasa F*CK UTILITY sering disingkat menjadi FACULTY.

Seiring berjalannya waktu orang tak lagi menganggap CAMP US sebagai tempat berbiak, tapi sebagai tempat para kaum intelektual untuk mendidik diri mereka. Di dalam CAMP US, kaum intelektual bisa mendapat pendidikan yang lebih tinggi.

Waktu terus berjalan, manusia purba terus bermasyarakat. Kini mereka hidup di komunitas yang lebih besar, mereka juga sekarang punya pimpinan, kepala suku namanya.

Sejak dulu, penghuni CAMP US biasanya kritis pada kepala suku. Karena mereka adalah kaum intelektual, maka mereka merasa perlu untuk mencermati kebijakan-kebijakan si kepala suku, dan menegurnya jika perlu.

Biasanya sih si kepala suku tak selalu mendengar teguran penghuni CAMP US, jika demikian maka para kaum intelektual akan ramai-ramai mendatangi kemah kepala suku dan berorasi, sampai si kepala suku pusing dengan kegaduhan, lalu menjanjikan apapun sampai kaum intelektual itu mau berhenti berbuat kegaduhan.

Waktu kembali berlalu, kini ada banyak sekali CAMP US yang tersebar, masing-masing CAMP US memiliki cara, aturan, dan standarnya yang berbeda-beda. Beberapa CAMP US, menyeleksi siapa saja yang boleh masuk dengan ketat, lainnya tidak, sisanya hanya memerlukan jumlah barter yang cukup untuk bisa masuk CAMP US.

Dengan standar yang berbeda-beda ini kualitas kaum intelektual pun dipertanyakan. Dulu semua orang yakin dengan intelektual dan integritas penghuni CAMP US, tapi kini tidak demikian.

Di beberapa kawasan, penghuni CAMP US menunjukkan sikap barbar. Mereka berbuat anarki: menyerang orang, menutup jalan dengan membakar roda kayu. Menggulingkan sapi beban yang dipakai oleh petugas keamanan dan memukulinya, juga merusak kemah milik penguasa.

Ada apa dengan sikap barbar ini, mereka kan intelektual? Yah biarpun bagaimana mereka kan manusia purba, wajar jika berlaku barbar. Lain halnya jika yang berlaku barbar adalah mahasiswa di jaman modern, malu dong.

Nah. Sikap barbar memang warisan nenek moyang, tak ada yang memungkiri kalau dulu nenek moyang kita berlaku barbar. Tapi hanya karena itu warisan nenek moyang, tak seharusnya juga dilestarikan. Sikap barbar tak sama dengan warisan budaya lain seperti kain batik, reog ponorogo, atau lagu rasa sayange. Malaysia pun tak mau meng-claimnya, mereka juga sudah punya.

Apalagi jika yang berlaku barbar adalah sekelompok orang yang mengaku kaum intelektual, aktivis himpunan keagamaan pula!

Cerita di atas tak terdokumentasi dalam sejarah dan bisa saya tuliskan hanya berkat intelektualitas saya semata. Tapi jika kita mencermati suatu fakta bahwa trend akan berulang dengan iterasi fraktal yang berkesinambungan (kata-kata tadi menunjukkan intelektual saya), maka apa yang terjadi di masa ini pastilah pernah terjadi juga di masa lalu (itu asumsi brilian dari intelektual saya).

jadi mana yang mulai anda ragukan, ke-intelektual-an orang barbar, atau ke-intelektual-an saya sebagai penulis?