Selasa, 30 Desember 2008

MODERN ELECTION

Pemilihan umum adalah konsekwensi dari sistem demokrasi melalui voting. Seperti yang pernah saya sampaikan dalam tulisan sebelum ini di blog ini juga, demokrasi voting telah berjalan selama ribuan tahun. Orang-orang roma memilih menghitung persetujuan saat rapat-rapat mereka tak menghasilkan kesimpulan.


Seperti pernah diulas sebelumnya juga, voting tampaknya selalu diterima oleh semua orang, toh orang-orang yang menentang praktek voting tak pernah mengangkat tangan saat diminta "Yang menentang voting angkat tangan...!".


Kini kita mendekati masa pemilihan umum. Sejak pemilihan umum pertama kali di Indonesia rakyat kita selalu menempatkan kekuasaan di tangan-tangan pemenang voting.


di pemilu-pemilu pada masa orde lama, partainya pendiri bangsa selalu mendapat suara terbanyak, sampai kemudian si pendiri bangsa itu muak dengan voting dan lalu mengambil alih demokrasi.


Lalu orde berganti dan entah oleh sebab apa, partai-partai politik tak pernah memenangkan pemilu. Pemilu kala itu selalu saja dimenangkan oleh peserta pemilu yang bukan partai.


Lalu zaman berganti lagi, sekali lagi diadakan pemilu, hanya saja kali ini semua pesertanya adalah partai politik, tak ada lagi 'golongan' yang mengaku bukan partai politik.



Pemilu berikutnya terasa seperti produk inovasi dari bagian marketing. Kini tidak hanya partai, tapi presidennya pun bisa kita pilih beramai-ramai.


Lalu setelah merasa bosan dengan jargon-jargon 'reformasi', larangan tidur di ruang sidang, menghujati pria uzur yang kini telah almarhum, mengejar-ngejar Edi Tanzil (serius! Saya masih melihat fotonya di famplet daftar buronan!) atau mencurigai setiap pria berjengggot yang lewat di depan hotel berbintang. Kini kita punya sistem pemilihan yang baru lagi.


Sekarang trendnya adalah: semuanya dipilih langsung. presiden, gubernur, bupati dan walikota, kepala desa, RT RW, bahkan calon legislatif.


Inovatif bukan, kini setiap pemilih harus menghadapi kertas suara sebesar surat kabar karena banyaknya opsi.


Lalu tak cukup dengan itu, cara memilih pun berubah, sejak tahun 1955, kita memilih dengan mencoblos dengan paku, kini kita diharuskan mencontreng dengan pulpen. Perubahan ini menciptakan kebingungan baru, banyak orang bingung apakah kertas suara harus dicontreng ataukah dicoblos dengan pulpen.


Kemudian, dari segi metode, pemilu kita kalah jauh dengan negara-negara maju. Nah, untuk itu melalui blog para cendikiawan muda ini saya mengusulkan beberapa cara pemilu alternatif.


Pertama, pemilu dilakukan melalui pesan pendek melalui telepon seluler. Setiap pemilih diwajibkan untuk registrasi dengan mengetik 'reg pemilu'.


Setiap SMS bertarif 2000 rupiah. Dalam satu hari pemilih dikirimi 5 SMS yang berisi panduan memilih caleg yang tepat, horoskop, ramalan weton, dan infotainment mengenai caleg artis. Pada puncaknya pemilih diharuskan memilih partai, caleg, dan presiden melalui SMS, sama seperti ketentuan memilih di acara pencarian idola indonesia. Pemilu itu sendiri akan diselenggarakan melalui stasiun TV pemenang tender melalui acara "Pemilu Spectacular Show", disiarkan live dari Balai Sarbini pada prime time (Untuk membantu, daftar nama calon dan kode SMS-nya akan ditampilkan melalui running text pada pesawat televisi).


Dengan demikian KPU tak perlu lagi repot mengenai dana pemilu, bahkan KPU akan mendapatkan pemasukan dari layanan Pesan Pendek tadi.


Kedua, KPU menyebarkan kertas suara melalui harian-harian atau tabloid tertentu. Pemilih dapat mengambil formulir kertas suara yang disisipkan sebagai lembar tambahan dalam harian-harian itu, lalu membawanya ke tempat pemilihan umum yang tersentralisasi, seperti misalnya Balai Kartini atau gedung museum Satria Mandala di Jakarta, atau Lapangan Gasibu dan Sabuga di Bandung.


cara ini akan memangkas kerepotan dalam mempersiapkan TPS dan distribusi kertas suara. Selain itu tak perlu ada tender kertas, tinta dan macam-macam hal lain yang bisa menjadi sumber korupsi.


Ketiga, cara ini melibatkan pengembangan infrastruktur teknologi informatika. Setiap rakyat Indonesia memiliki KTP. Nah, Pemerintah dapat mengembangkan KTP tadi menjadi sistem informasi kependudukan online yang canggih, dimana setiap penduduk akan memiliki sebuah 'situs' yang di halaman muka-nya (home- red) akan menampilkan foto dan informasi pribadi seperti dalam KTP. Tentu saja penduduk pun dapat menambahkan info lain seperti buku bacaan favorit, film kegemaran, sampai kata-kata mutiara.


Di sisi kanan atas halaman itu ada bagian 'relatives list' yang berisi anggota keluarga (sesuai KK). Di bawahnya terdapat bagian 'Friend list' dimana penduduk dapat menambahkan siapa saja dari 200 juta lebih penduduk Indonesia untuk menjadi temannya (tentunya dengan konfirmasi yang bersangkutan).


Melalui situs jejaring sosial itu kemudian setiap penduduk dapat berkomunikasi dengan penduduk lain dengan saling mengirimkan komentar atau melalui messenger built in yang ditanamkan dalam page situs ini.


Lalu kaitannya dengan pemilu? Tentu saja ada. Nah melalui jejaring sosial se Indonesia ini pemerintah akan dapat menyelenggarakan pemilu setiap lima tahun sekali. Setiap lima tahun pemerintah akan meluncurkan aplikasi pemilihan umum. Masyarakat yang ingin berpartisipasi dalam pemilu ini dapat bergabung dengan meng-klik tombol "add application" lalu mengijinkan agar KPU selaku pengelola aplikasi untuk mengakses data-data pribadinya dan meletakkan 'shortcut' aplikasi pemilu tadi di halaman muka-nya.


Lalu setiap penduduk yang ingin membantu KPU dalam mensosialisasikan pemilu dapat merekomendasikan dan mengajak teman-temannya juga dengan mengirimkan 10 application invitation ke 10 teman setiap harinya. Tentu saja mereka yang hendak ber-golput ria tak perlu meng add aplikasi ini. Dan tentunya tersedia juga aplikasi untuk pilkada.


Parpol, capres, cagub dan caleg dapat berkampanye dengan membuat group-group tertentu, atau berorasi dan menyebar janji dengan mem-post buletin-buletin. Lalu mereka dapat melihat animo masyarakat dengan mengirimkan invitation untuk menjadi 'Fan' mereka. Jadi jangan kaget jika misalnya saja anda dikirimi invitation oleh seseorang bernama "Susilo" untuk "becoming a fan for SBY".


Keunggulan cara ini adalah:

1. Segala kerumitan menyelenggarakan pemilu yang selama ini dilakukan oleh KPU dapat diatasi.

2. Tak ada lagi tender tinta, tender kertas suara, bilik suara, dan sebagainya. Korupsi pun tentunya dapat dikurangi.

3. Situs jejaring sosial dengan member 200 juta orang lebih akan mendatangkan pemasukan bagi pemerintah, bayangkan income dari static banner, flash banner, atau iklan pay per clickyang akan dipasang di situs tersebut.

4. Pemerintah dapat menggunakannya sebagai pemantau. Pemerintah dapat mengetahui siapa saja yang golput (yang tdk men-add aplikasi pemilu), juga siapa saja yang terlibat dengan jaringan terorisme, dengan cara melihat friend list setiap orang, siapapun yang mencantumkan - katakanlah - alm. Imam Samudra dalam friendlistnya, berarti ia adalah teroris.


Lebih jauh lagi adalah dengan metode-metode alternatif yang saya sajkan, kita dapat menunjukkan keunggulan kita sebagai bangsa yang cerdas dengan mengaplikasikan sistem pemilihan umum yang juga cerdas dan inovatif yang juga ditunjang dengan sistem infrastruktur yang menawan dan menakjubkan.

Selasa, 23 Desember 2008

Kira-kira begitulah..

Saat manusia tak lagi nomaden, orang-orang tinggal mengelompok di suatu tempat. Tempat itu bisa jadi adalah tempat yang dekat dengan air, dengan pohon buah-buahan, atau dekat dengan padang perburuan.

Karena menetap, banyak persoalan yang timbul. Dahulu saat tidur berpindah-pindah di padang terbuka, tak ada yang mempermasalahkan teritorial. Siapapun bisa tidur di mana saja, tak ada yang bilang "hei kau tidur di semak-semakku bung!", semuanya sederhana. Saat menetap, orang mulai bilang "hei itu sisi goa ku" atau "Hei itu ceruk karang ku" atau "Hei itu susunan jerami ber-atap ku, dan itu istriku yang bersamamu!"

Begitulah, hidup berkelompok ternyata rumit. Segalanya tak bisa diatur seperti membalikkan telapak tangan. Banyak norma-norma baru tercipta, berarti juga banyak hal yang tadinya tak melanggar norma kini menjadi melanggar norma.

Dulu siapa saja boleh buang air di padang terbuka, makan dan tidur dimanapun, termasuk berhubungan seksual di manapun. Kini semua ada norma dan aturannya.

Seperangkat aturan dibuat untuk dipatuhi, masalahnya adalah kepatuhan. Tak ada yang patuh tanpa pengawasan. Maka tampillah sekelompok orang yang berinisiatif menjadi pelaksana fungsi supervisi di masyarakat untuk menegakkan legalitas norma-norma.

Namun, sejak dulu manusia hidup dalam budaya iconic, dimana harus saja ada seorang simbol sebagai perwakilan atas sesuatu hal. Para pengawas lalu memilih seseorang yang iconic untuk menjalankan fungsi eksekusi terhadap pelaksanaan norma.

Kelak si orang yang ditunjuk sebagai eksekutor tadi akan dikenal sebagai executive, dan para pengawas pelegalisasi norma akan dikenal sebagai legislative.

lalu zaman berganti. Kini adalah masanya orang roma memimpin dunia, era keemasan orang roma (saat itu orang roma belum sibuk makan pasta dan terlibat perang antar 'keluarga besar').

Orang roma tampaknya senang rapat dan diskusi, penduduk kota sering berkumpul untuk menyampaikan aspirasinya mengenai segala hal. Misalnya adalah mengenai penetapan harga di pasar, memilih pemimpin kota, menetapkan peraturan lalu-lintas kereta kuda dalam kota, sampai memilih jalan terbaik jika hendak pulang ke roma setelah bepergian, karena toh banyak jalan menuju roma bukan?

dalam setiap pertemuan rapat setiap orang boleh menutarakan pendapat. Hal ini mereka sebut sebagai demokrasi.

kala itu setiap orang harus mengutarakan sendiri aspirasi dan pola pikirnya. Kemudian Romawi meluas, kota-kota besar di mana-mana. Tradisi berkumpul untuk mengutarakan aspirasi tentu saja masih ada. Lokasi berkumpul kini ditetapkan di kota terbesar, maka penduduk kota lain harus datang ke kota itu untuk berpendapat.

Lama-lama orang merasa enggan untuk datang jauh-jauh untuk mengemukakan aspirasi, saat mereka meninggalkan kotanya untuk berkumpul maka pekerjaan-pekerjaan menjadi terbengkalai.

Lalu beberapa orang mulai menitipkan aspirasinya pada temannya karena malas pergi jauh. Lama-lama semua orang yang memiliki pekerjaan enggan pergi. Akhirnya warga kota memilih salah seorang dari mereka yang tak memiliki pekerjaan tetap untuk menjadi wakil mereka dalam menyampaikan aspirasinya.

Di pertemuan di roma, semua orang terkejut karena ada seseorang yang mengutarakan banyak sekali aspirasi titipan, tapi apirasi itu tak berkaitan dengan dirinya. Maka pemimpin sidang bertanya "siapa kau sebenarnya?" si perwakilan berpikir sejenak lalu berkata "saya.. Saya.. Saya adalah 'wakil rakyat'..".

sejak itu terminologi 'wakil rakyat' tercipta. Dahulu orang Roma takut produktivitas berkurang karena rapat, maka mereka mengirimkan orang yang paling tidak produktif di kota sebagai 'wakil rakyat'. Menjadi wakil rakyat pun menjadi pekerjaan yang populer. Banyak para penganggur yang kini menjadi wakil rakyat.

kata 'wakil rakyat' pun mengalami ameliorasi. Namun pekerjaan sebagai wakil rakyat tetaplah menjadi pekerjaan paling tidak produktif di kota. Kini ribuan tahun kemudian produktifitas wakil rakyat tidak berubah.

kemudian selama bertahun-tahun demokrasi dilakukan melalui voting. Praktek ini berjalan terus karena tak ada yang menentangnya, bahkan semua setuju untuk voting. Misalnya adalah ketika sang pemimpin sidang bertanya "Yang menentang voting angkat tangan.." selalu tak ada yang mengangkat tangan.

Lalu di Italia tersebutlah seseorang bernama Machiavelli. Italia memang memiliki banyak orang hebat, Marcopollo, Musolini, Capone, juga Mario & Luigi yang terkenal itu. Nah Machiavelli tadi mengatakan bahwa untuk mencapai suatu tujuan apapun bisa dilakukan. Gagasan itu pun populer terutama di kalangan 'keluarga-keluarga besar' di Italia dan Sisilia.

Gagasan itu kini menghasilkan ilmu poltik populer. Tentativitas dalam pikiran manusia lantas menggabungkan semua terminologi legislative, executive, demokrasi, wakil rakyat, dan politik menjadi satu.

Hasilnya ... ? Saya yakin anda bisa menebaknya, politik kontemporer.

Tentu saja kini orang-orang tak lagi mempermasalahkan 'sisi goa nya', 'ceruk karang-nya' atau 'susunan jerami ber-atap-nya'. Masa memang berubah tapi issuenya tetaplah berebut kepentingan, manusia prasejarah sampai generasi kita masih saja mengurusi masalah yang sama. Orang roma mungkin telah salah menciptakan tradisi mewakilkan demokrasi kepada orang-orang tidak produktif. Nasi telah menjadi bubur dan yang bisa dilakukan adalah menambahkan irisan daging ayam, kecap asin, dan kerupuk juga bawang goreng, lalu menawarkannya kepada Pak Bondhan Winarno agar semua yang melihatnya menjadi ikut berselera....