Senin, 22 November 2010

Aku Pria Lajang yang Terbuang dari Kelompoknya.......

Pertama-tama dan sebelumnya penulis meminta maaf karena ketidakaktifan penulis selama beberapa tahun, mengingat masa transisi penulis dari mahasiswa menjadi pekerja (entah apakah saya masih diperbolehkan menulis di sini).
Memang saya akui bahwa blog ini ditulis dikala waktu senggang saya, maklum beberapa tahun belakangan ini saya terlihat sibuk dan kadang sangat sibuk mencari kesibukan setidaknya itu lebih baik dibandingkan berpura-pura sibuk.
Mari kita kembali ke topik awal mengapa seseorang dapat terbuang dan tersisih dari kelompoknya??
Mungkin kita awali dengan arti sebuah kelompok yaitu kumpulan atau himpunan atau grombolan atau "gang" dan lain sebagainya. Kelompok biasanya memiliki suatu tujuan seperti kelompok anak gaul SMA memiliki tujuan untuk tetap gaul sehingga yang tidak gaul bukan kelompoknya.......
Mari kita fokus topik awal mengapa seseorang dapat terbuang dan tersisih dari kelompoknya??
Baiklah kemungkinan suatu anggota terbuang dari kelompoknya terdiri dari beberapa faktor salah satu yang bisa disebutkan oleh penulis adalah sebagai berikut mudah-mudahan berkenan :
  1. Faktor usia dan angkatan, faktor ini sangat besar pengaruh pada suatu kelompok, semakin tua usia maka cara berfikir dan persepsi dalam menilai suatu keadaan dapat diasumsikan lebih baik berbeda dengan kawula muda. Dengan contoh sederhana tidak mungkin seorang ketua RT masih ikut-ikutan dalam kelompok anak gaul SMA
  2. Faktor bahasa, faktor ini sangat berperan dalam menyampaikan suatu gagasa atau ide dalam suatu kelompok. Perbedaan bahasa dapat menimbulkan konflik..... atau bahkan menimbulkan rasa keterasingan seperti kejeblos ke planet mahkluk-mahkluk kembar, diteror monster-monster yang sedang parade, terjun ke panggung sirkus aneh, dan dilempar ke mulut bunga raksasa (iklan kopi instan). Sebagai contoh adalah kelompok cendikiawan atau yah kita sebut saja ilmuwan jarang sekali bahkan tidak pernah menggunakan B4hA54 A14y untuk tulisan riset mereka.
  3. Faktor kepribadian, nah faktor ini yang paling penting agar tidak pernah terbuang dari kelompok.Untuk penjelasan lebih lanjut dapat menghubungi psikater terdekat.
Mari kita ambil kesimpulan dari topik awal mengapa seseorang dapat terbuang dan tersisih dari kelompoknya??
Baiklah mari kita ambil kesimpulan mengapa hal ini dapat terjadi.
  1. Ingat pepatah "habis manis sepah dibuang" hal ini menujukan bahwa seseorang akan menjadi bagian kelompok karena kebutuhan jadi kalo gak butuh yang buang aja, hingga saat ini penulis tidak pernah menemukan orang yang terus mengunyah permen karet hingga seminggu penuh. Selain itu ingat pribahasa "tidak ada rotan akar pun jadi" yah gak ada lo masih ada yang bisa gantiin koq.......(bahasa sedikit gaul)
  2. Meski usia berbeda tetap harus bisa beradaptasi dengan sekitar, maka tidak akan ada lagi perasaan terbuang tetapi harus diingat kesimpulan yang pertama
  3. Belajarlah bahasa dalam kelompok anda minimal bahasa cacian lah dan ingat kesimpulan yang pertama
  4. Menjadi pribadi yang prima dalah hal ini yang pribadi yang terbaik dalam kelompok tersebut serta jangan sampai lupa kesimpulan yang pertama
Semoga tulisan ini dapat memberikan anda pencerahan

Pencerahan dalam tulisan ini seperti black hole
-Einstein-

Selasa, 09 Maret 2010

Prehistoric intelectuality

Di era nomaden, ketika para manusia purba capek hidup di padang alang-alang yang satu mereka akan pindah ke padang alang-alang yang lain. Ya kadang mereka juga pindah ke stepa, sabana, atau pinggiran hutan.

Awalnya mereka hidup menggelandang tanpa sungkan, toh waktu itu tidak ada istilah gelandangan, tidur di rerumputan dengan beratapkan langit.

Lalu iklim berubah, terjadi pemanasan global, kini banyak tumbuhan paku yang besar-besar pun punah, benua pun bergeser dan padang sabana dan alang-alang pun menipis.

Terjadi krisis, para manusia purba kehilangan tempat yang nyaman untuk berkembang biak. Mereka mengalami krisis privasi, kini dengan tidak adanya alang-alang, rumput gajah, atau tumbuhan pakis raksasa, tak ada lagi yang menjaga privasi mereka pada saat mencoba berkembang biak.

Dengan tidak adanya KTT untuk mengatasi pemanasan global itu dan tidak adanya emisi apapun untuk dikurangi, mereka pun bingung bagaimana mengatasi krisis privasi ini, artinya mereka tak bisa menumbuhkan lagi rumput-rumput, mereka juga tak bisa menanam tumbuhan baru, kan saat itu masih masa berburu dan meramu bukan masa bercocok tanam, jadi mereka merasa belum tiba saatnya untuk menanam tumbuhan.

Ditengah kebingungan luar biasa, biasanya manusia bertambah cerdas, terutama para manusia purba. Mereka selalu bisa memikirkan hal baru yang saat itu belum pernah terpikirkan!

Segelintir kaum yang menjadi lebih cerdas ini lantas disebut kaum intelektual.

Kaum intelektual, entah bagaimana, berhasil membuat suatu bangunan sederhana untuk menjaga privasi mereka saat berkembang biak. Bangunan itu mereka beri nama "kemah" (dalam bahasa Inggris: CAMP).

Maka kemah pun dikenal sebagai rumah bagi kaum intelektual yang cerdas. Untuk lebih menjaga privasi dan kepemilikan kaum intelektual pun menamakan kemah mereka sebagai "kemah kami" (dalam bahasa inggris: "CAMP US").

Kadang ada "CAMP US" yang besar yang dilengkapi dengan lebih dari satu sarana berbiak (dalam bahasa Inggris: F*CK UTILITY), namun untuk menjaga kesopanan berbahasa F*CK UTILITY sering disingkat menjadi FACULTY.

Seiring berjalannya waktu orang tak lagi menganggap CAMP US sebagai tempat berbiak, tapi sebagai tempat para kaum intelektual untuk mendidik diri mereka. Di dalam CAMP US, kaum intelektual bisa mendapat pendidikan yang lebih tinggi.

Waktu terus berjalan, manusia purba terus bermasyarakat. Kini mereka hidup di komunitas yang lebih besar, mereka juga sekarang punya pimpinan, kepala suku namanya.

Sejak dulu, penghuni CAMP US biasanya kritis pada kepala suku. Karena mereka adalah kaum intelektual, maka mereka merasa perlu untuk mencermati kebijakan-kebijakan si kepala suku, dan menegurnya jika perlu.

Biasanya sih si kepala suku tak selalu mendengar teguran penghuni CAMP US, jika demikian maka para kaum intelektual akan ramai-ramai mendatangi kemah kepala suku dan berorasi, sampai si kepala suku pusing dengan kegaduhan, lalu menjanjikan apapun sampai kaum intelektual itu mau berhenti berbuat kegaduhan.

Waktu kembali berlalu, kini ada banyak sekali CAMP US yang tersebar, masing-masing CAMP US memiliki cara, aturan, dan standarnya yang berbeda-beda. Beberapa CAMP US, menyeleksi siapa saja yang boleh masuk dengan ketat, lainnya tidak, sisanya hanya memerlukan jumlah barter yang cukup untuk bisa masuk CAMP US.

Dengan standar yang berbeda-beda ini kualitas kaum intelektual pun dipertanyakan. Dulu semua orang yakin dengan intelektual dan integritas penghuni CAMP US, tapi kini tidak demikian.

Di beberapa kawasan, penghuni CAMP US menunjukkan sikap barbar. Mereka berbuat anarki: menyerang orang, menutup jalan dengan membakar roda kayu. Menggulingkan sapi beban yang dipakai oleh petugas keamanan dan memukulinya, juga merusak kemah milik penguasa.

Ada apa dengan sikap barbar ini, mereka kan intelektual? Yah biarpun bagaimana mereka kan manusia purba, wajar jika berlaku barbar. Lain halnya jika yang berlaku barbar adalah mahasiswa di jaman modern, malu dong.

Nah. Sikap barbar memang warisan nenek moyang, tak ada yang memungkiri kalau dulu nenek moyang kita berlaku barbar. Tapi hanya karena itu warisan nenek moyang, tak seharusnya juga dilestarikan. Sikap barbar tak sama dengan warisan budaya lain seperti kain batik, reog ponorogo, atau lagu rasa sayange. Malaysia pun tak mau meng-claimnya, mereka juga sudah punya.

Apalagi jika yang berlaku barbar adalah sekelompok orang yang mengaku kaum intelektual, aktivis himpunan keagamaan pula!

Cerita di atas tak terdokumentasi dalam sejarah dan bisa saya tuliskan hanya berkat intelektualitas saya semata. Tapi jika kita mencermati suatu fakta bahwa trend akan berulang dengan iterasi fraktal yang berkesinambungan (kata-kata tadi menunjukkan intelektual saya), maka apa yang terjadi di masa ini pastilah pernah terjadi juga di masa lalu (itu asumsi brilian dari intelektual saya).

jadi mana yang mulai anda ragukan, ke-intelektual-an orang barbar, atau ke-intelektual-an saya sebagai penulis?