Saat manusia tak lagi nomaden, orang-orang tinggal mengelompok di suatu tempat. Tempat itu bisa jadi adalah tempat yang dekat dengan air, dengan pohon buah-buahan, atau dekat dengan padang perburuan.
Karena menetap, banyak persoalan yang timbul. Dahulu saat tidur berpindah-pindah di padang terbuka, tak ada yang mempermasalahkan teritorial. Siapapun bisa tidur di mana saja, tak ada yang bilang "hei kau tidur di semak-semakku bung!", semuanya sederhana. Saat menetap, orang mulai bilang "hei itu sisi goa ku" atau "Hei itu ceruk karang ku" atau "Hei itu susunan jerami ber-atap ku, dan itu istriku yang bersamamu!"
Begitulah, hidup berkelompok ternyata rumit. Segalanya tak bisa diatur seperti membalikkan telapak tangan. Banyak norma-norma baru tercipta, berarti juga banyak hal yang tadinya tak melanggar norma kini menjadi melanggar norma.
Dulu siapa saja boleh buang air di padang terbuka, makan dan tidur dimanapun, termasuk berhubungan seksual di manapun. Kini semua ada norma dan aturannya.
Seperangkat aturan dibuat untuk dipatuhi, masalahnya adalah kepatuhan. Tak ada yang patuh tanpa pengawasan. Maka tampillah sekelompok orang yang berinisiatif menjadi pelaksana fungsi supervisi di masyarakat untuk menegakkan legalitas norma-norma.
Namun, sejak dulu manusia hidup dalam budaya iconic, dimana harus saja ada seorang simbol sebagai perwakilan atas sesuatu hal. Para pengawas lalu memilih seseorang yang iconic untuk menjalankan fungsi eksekusi terhadap pelaksanaan norma.
Kelak si orang yang ditunjuk sebagai eksekutor tadi akan dikenal sebagai executive, dan para pengawas pelegalisasi norma akan dikenal sebagai legislative.
lalu zaman berganti. Kini adalah masanya orang roma memimpin dunia, era keemasan orang roma (saat itu orang roma belum sibuk makan pasta dan terlibat perang antar 'keluarga besar').
Orang roma tampaknya senang rapat dan diskusi, penduduk kota sering berkumpul untuk menyampaikan aspirasinya mengenai segala hal. Misalnya adalah mengenai penetapan harga di pasar, memilih pemimpin kota, menetapkan peraturan lalu-lintas kereta kuda dalam kota, sampai memilih jalan terbaik jika hendak pulang ke roma setelah bepergian, karena toh banyak jalan menuju roma bukan?
dalam setiap pertemuan rapat setiap orang boleh menutarakan pendapat. Hal ini mereka sebut sebagai demokrasi.
kala itu setiap orang harus mengutarakan sendiri aspirasi dan pola pikirnya. Kemudian Romawi meluas, kota-kota besar di mana-mana. Tradisi berkumpul untuk mengutarakan aspirasi tentu saja masih ada. Lokasi berkumpul kini ditetapkan di kota terbesar, maka penduduk kota lain harus datang ke kota itu untuk berpendapat.
Lama-lama orang merasa enggan untuk datang jauh-jauh untuk mengemukakan aspirasi, saat mereka meninggalkan kotanya untuk berkumpul maka pekerjaan-pekerjaan menjadi terbengkalai.
Lalu beberapa orang mulai menitipkan aspirasinya pada temannya karena malas pergi jauh. Lama-lama semua orang yang memiliki pekerjaan enggan pergi. Akhirnya warga kota memilih salah seorang dari mereka yang tak memiliki pekerjaan tetap untuk menjadi wakil mereka dalam menyampaikan aspirasinya.
Di pertemuan di roma, semua orang terkejut karena ada seseorang yang mengutarakan banyak sekali aspirasi titipan, tapi apirasi itu tak berkaitan dengan dirinya. Maka pemimpin sidang bertanya "siapa kau sebenarnya?" si perwakilan berpikir sejenak lalu berkata "saya.. Saya.. Saya adalah 'wakil rakyat'..".
sejak itu terminologi 'wakil rakyat' tercipta. Dahulu orang Roma takut produktivitas berkurang karena rapat, maka mereka mengirimkan orang yang paling tidak produktif di kota sebagai 'wakil rakyat'. Menjadi wakil rakyat pun menjadi pekerjaan yang populer. Banyak para penganggur yang kini menjadi wakil rakyat.
kata 'wakil rakyat' pun mengalami ameliorasi. Namun pekerjaan sebagai wakil rakyat tetaplah menjadi pekerjaan paling tidak produktif di kota. Kini ribuan tahun kemudian produktifitas wakil rakyat tidak berubah.
kemudian selama bertahun-tahun demokrasi dilakukan melalui voting. Praktek ini berjalan terus karena tak ada yang menentangnya, bahkan semua setuju untuk voting. Misalnya adalah ketika sang pemimpin sidang bertanya "Yang menentang voting angkat tangan.." selalu tak ada yang mengangkat tangan.
Lalu di Italia tersebutlah seseorang bernama Machiavelli. Italia memang memiliki banyak orang hebat, Marcopollo, Musolini, Capone, juga Mario & Luigi yang terkenal itu. Nah Machiavelli tadi mengatakan bahwa untuk mencapai suatu tujuan apapun bisa dilakukan. Gagasan itu pun populer terutama di kalangan 'keluarga-keluarga besar' di Italia dan Sisilia.
Gagasan itu kini menghasilkan ilmu poltik populer. Tentativitas dalam pikiran manusia lantas menggabungkan semua terminologi legislative, executive, demokrasi, wakil rakyat, dan politik menjadi satu.
Hasilnya ... ? Saya yakin anda bisa menebaknya, politik kontemporer.
Tentu saja kini orang-orang tak lagi mempermasalahkan 'sisi goa nya', 'ceruk karang-nya' atau 'susunan jerami ber-atap-nya'. Masa memang berubah tapi issuenya tetaplah berebut kepentingan, manusia prasejarah sampai generasi kita masih saja mengurusi masalah yang sama. Orang roma mungkin telah salah menciptakan tradisi mewakilkan demokrasi kepada orang-orang tidak produktif. Nasi telah menjadi bubur dan yang bisa dilakukan adalah menambahkan irisan daging ayam, kecap asin, dan kerupuk juga bawang goreng, lalu menawarkannya kepada Pak Bondhan Winarno agar semua yang melihatnya menjadi ikut berselera....
Karena menetap, banyak persoalan yang timbul. Dahulu saat tidur berpindah-pindah di padang terbuka, tak ada yang mempermasalahkan teritorial. Siapapun bisa tidur di mana saja, tak ada yang bilang "hei kau tidur di semak-semakku bung!", semuanya sederhana. Saat menetap, orang mulai bilang "hei itu sisi goa ku" atau "Hei itu ceruk karang ku" atau "Hei itu susunan jerami ber-atap ku, dan itu istriku yang bersamamu!"
Begitulah, hidup berkelompok ternyata rumit. Segalanya tak bisa diatur seperti membalikkan telapak tangan. Banyak norma-norma baru tercipta, berarti juga banyak hal yang tadinya tak melanggar norma kini menjadi melanggar norma.
Dulu siapa saja boleh buang air di padang terbuka, makan dan tidur dimanapun, termasuk berhubungan seksual di manapun. Kini semua ada norma dan aturannya.
Seperangkat aturan dibuat untuk dipatuhi, masalahnya adalah kepatuhan. Tak ada yang patuh tanpa pengawasan. Maka tampillah sekelompok orang yang berinisiatif menjadi pelaksana fungsi supervisi di masyarakat untuk menegakkan legalitas norma-norma.
Namun, sejak dulu manusia hidup dalam budaya iconic, dimana harus saja ada seorang simbol sebagai perwakilan atas sesuatu hal. Para pengawas lalu memilih seseorang yang iconic untuk menjalankan fungsi eksekusi terhadap pelaksanaan norma.
Kelak si orang yang ditunjuk sebagai eksekutor tadi akan dikenal sebagai executive, dan para pengawas pelegalisasi norma akan dikenal sebagai legislative.
lalu zaman berganti. Kini adalah masanya orang roma memimpin dunia, era keemasan orang roma (saat itu orang roma belum sibuk makan pasta dan terlibat perang antar 'keluarga besar').
Orang roma tampaknya senang rapat dan diskusi, penduduk kota sering berkumpul untuk menyampaikan aspirasinya mengenai segala hal. Misalnya adalah mengenai penetapan harga di pasar, memilih pemimpin kota, menetapkan peraturan lalu-lintas kereta kuda dalam kota, sampai memilih jalan terbaik jika hendak pulang ke roma setelah bepergian, karena toh banyak jalan menuju roma bukan?
dalam setiap pertemuan rapat setiap orang boleh menutarakan pendapat. Hal ini mereka sebut sebagai demokrasi.
kala itu setiap orang harus mengutarakan sendiri aspirasi dan pola pikirnya. Kemudian Romawi meluas, kota-kota besar di mana-mana. Tradisi berkumpul untuk mengutarakan aspirasi tentu saja masih ada. Lokasi berkumpul kini ditetapkan di kota terbesar, maka penduduk kota lain harus datang ke kota itu untuk berpendapat.
Lama-lama orang merasa enggan untuk datang jauh-jauh untuk mengemukakan aspirasi, saat mereka meninggalkan kotanya untuk berkumpul maka pekerjaan-pekerjaan menjadi terbengkalai.
Lalu beberapa orang mulai menitipkan aspirasinya pada temannya karena malas pergi jauh. Lama-lama semua orang yang memiliki pekerjaan enggan pergi. Akhirnya warga kota memilih salah seorang dari mereka yang tak memiliki pekerjaan tetap untuk menjadi wakil mereka dalam menyampaikan aspirasinya.
Di pertemuan di roma, semua orang terkejut karena ada seseorang yang mengutarakan banyak sekali aspirasi titipan, tapi apirasi itu tak berkaitan dengan dirinya. Maka pemimpin sidang bertanya "siapa kau sebenarnya?" si perwakilan berpikir sejenak lalu berkata "saya.. Saya.. Saya adalah 'wakil rakyat'..".
sejak itu terminologi 'wakil rakyat' tercipta. Dahulu orang Roma takut produktivitas berkurang karena rapat, maka mereka mengirimkan orang yang paling tidak produktif di kota sebagai 'wakil rakyat'. Menjadi wakil rakyat pun menjadi pekerjaan yang populer. Banyak para penganggur yang kini menjadi wakil rakyat.
kata 'wakil rakyat' pun mengalami ameliorasi. Namun pekerjaan sebagai wakil rakyat tetaplah menjadi pekerjaan paling tidak produktif di kota. Kini ribuan tahun kemudian produktifitas wakil rakyat tidak berubah.
kemudian selama bertahun-tahun demokrasi dilakukan melalui voting. Praktek ini berjalan terus karena tak ada yang menentangnya, bahkan semua setuju untuk voting. Misalnya adalah ketika sang pemimpin sidang bertanya "Yang menentang voting angkat tangan.." selalu tak ada yang mengangkat tangan.
Lalu di Italia tersebutlah seseorang bernama Machiavelli. Italia memang memiliki banyak orang hebat, Marcopollo, Musolini, Capone, juga Mario & Luigi yang terkenal itu. Nah Machiavelli tadi mengatakan bahwa untuk mencapai suatu tujuan apapun bisa dilakukan. Gagasan itu pun populer terutama di kalangan 'keluarga-keluarga besar' di Italia dan Sisilia.
Gagasan itu kini menghasilkan ilmu poltik populer. Tentativitas dalam pikiran manusia lantas menggabungkan semua terminologi legislative, executive, demokrasi, wakil rakyat, dan politik menjadi satu.
Hasilnya ... ? Saya yakin anda bisa menebaknya, politik kontemporer.
Tentu saja kini orang-orang tak lagi mempermasalahkan 'sisi goa nya', 'ceruk karang-nya' atau 'susunan jerami ber-atap-nya'. Masa memang berubah tapi issuenya tetaplah berebut kepentingan, manusia prasejarah sampai generasi kita masih saja mengurusi masalah yang sama. Orang roma mungkin telah salah menciptakan tradisi mewakilkan demokrasi kepada orang-orang tidak produktif. Nasi telah menjadi bubur dan yang bisa dilakukan adalah menambahkan irisan daging ayam, kecap asin, dan kerupuk juga bawang goreng, lalu menawarkannya kepada Pak Bondhan Winarno agar semua yang melihatnya menjadi ikut berselera....
0 komentar:
Posting Komentar