Pemilihan umum adalah konsekwensi dari sistem demokrasi melalui voting. Seperti yang pernah saya sampaikan dalam tulisan sebelum ini di blog ini juga, demokrasi voting telah berjalan selama ribuan tahun. Orang-orang roma memilih menghitung persetujuan saat rapat-rapat mereka tak menghasilkan kesimpulan.
Seperti pernah diulas sebelumnya juga, voting tampaknya selalu diterima oleh semua orang, toh orang-orang yang menentang praktek voting tak pernah mengangkat tangan saat diminta "Yang menentang voting angkat tangan...!".
Kini kita mendekati masa pemilihan umum. Sejak pemilihan umum pertama kali di Indonesia rakyat kita selalu menempatkan kekuasaan di tangan-tangan pemenang voting.
di pemilu-pemilu pada masa orde lama, partainya pendiri bangsa selalu mendapat suara terbanyak, sampai kemudian si pendiri bangsa itu muak dengan voting dan lalu mengambil alih demokrasi.
Lalu orde berganti dan entah oleh sebab apa, partai-partai politik tak pernah memenangkan pemilu. Pemilu kala itu selalu saja dimenangkan oleh peserta pemilu yang bukan partai.
Lalu zaman berganti lagi, sekali lagi diadakan pemilu, hanya saja kali ini semua pesertanya adalah partai politik, tak ada lagi 'golongan' yang mengaku bukan partai politik.
Pemilu berikutnya terasa seperti produk inovasi dari bagian marketing. Kini tidak hanya partai, tapi presidennya pun bisa kita pilih beramai-ramai.
Lalu setelah merasa bosan dengan jargon-jargon 'reformasi', larangan tidur di ruang sidang, menghujati pria uzur yang kini telah almarhum, mengejar-ngejar Edi Tanzil (serius! Saya masih melihat fotonya di famplet daftar buronan!) atau mencurigai setiap pria berjengggot yang lewat di depan hotel berbintang. Kini kita punya sistem pemilihan yang baru lagi.
Sekarang trendnya adalah: semuanya dipilih langsung. presiden, gubernur, bupati dan walikota, kepala desa, RT RW, bahkan calon legislatif.
Inovatif bukan, kini setiap pemilih harus menghadapi kertas suara sebesar surat kabar karena banyaknya opsi.
Lalu tak cukup dengan itu, cara memilih pun berubah, sejak tahun 1955, kita memilih dengan mencoblos dengan paku, kini kita diharuskan mencontreng dengan pulpen. Perubahan ini menciptakan kebingungan baru, banyak orang bingung apakah kertas suara harus dicontreng ataukah dicoblos dengan pulpen.
Kemudian, dari segi metode, pemilu kita kalah jauh dengan negara-negara maju. Nah, untuk itu melalui blog para cendikiawan muda ini saya mengusulkan beberapa cara pemilu alternatif.
Pertama, pemilu dilakukan melalui pesan pendek melalui telepon seluler. Setiap pemilih diwajibkan untuk registrasi dengan mengetik 'reg
Setiap SMS bertarif 2000 rupiah. Dalam satu hari pemilih dikirimi 5 SMS yang berisi panduan memilih caleg yang tepat, horoskop, ramalan weton, dan infotainment mengenai caleg artis. Pada puncaknya pemilih diharuskan memilih partai, caleg, dan presiden melalui SMS, sama seperti ketentuan memilih di acara pencarian idola indonesia. Pemilu itu sendiri akan diselenggarakan melalui stasiun TV pemenang tender melalui acara "Pemilu Spectacular Show", disiarkan live dari Balai Sarbini pada prime time (Untuk membantu, daftar nama calon dan kode SMS-nya akan ditampilkan melalui running text pada pesawat televisi).
Dengan demikian KPU tak perlu lagi repot mengenai dana pemilu, bahkan KPU akan mendapatkan pemasukan dari layanan Pesan Pendek tadi.
Kedua, KPU menyebarkan kertas suara melalui harian-harian atau tabloid tertentu. Pemilih dapat mengambil formulir kertas suara yang disisipkan sebagai lembar tambahan dalam harian-harian itu, lalu membawanya ke tempat pemilihan umum yang tersentralisasi, seperti misalnya Balai Kartini atau gedung museum Satria Mandala di Jakarta, atau Lapangan Gasibu dan Sabuga di Bandung.
cara ini akan memangkas kerepotan dalam mempersiapkan TPS dan distribusi kertas suara. Selain itu tak perlu ada tender kertas, tinta dan macam-macam hal lain yang bisa menjadi sumber korupsi.
Ketiga, cara ini melibatkan pengembangan infrastruktur teknologi informatika. Setiap rakyat Indonesia memiliki KTP. Nah, Pemerintah dapat mengembangkan KTP tadi menjadi sistem informasi kependudukan online yang canggih, dimana setiap penduduk akan memiliki sebuah 'situs' yang di halaman muka-nya (home- red) akan menampilkan foto dan informasi pribadi seperti dalam KTP. Tentu saja penduduk pun dapat menambahkan info lain seperti buku bacaan favorit, film kegemaran, sampai kata-kata mutiara.
Di sisi kanan atas halaman itu ada bagian 'relatives list' yang berisi anggota keluarga (sesuai KK). Di bawahnya terdapat bagian 'Friend list' dimana penduduk dapat menambahkan siapa saja dari 200 juta lebih penduduk Indonesia untuk menjadi temannya (tentunya dengan konfirmasi yang bersangkutan).
Melalui situs jejaring sosial itu kemudian setiap penduduk dapat berkomunikasi dengan penduduk lain dengan saling mengirimkan komentar atau melalui messenger built in yang ditanamkan dalam page situs ini.
Lalu kaitannya dengan pemilu? Tentu saja ada. Nah melalui jejaring sosial se Indonesia ini pemerintah akan dapat menyelenggarakan pemilu setiap lima tahun sekali. Setiap lima tahun pemerintah akan meluncurkan aplikasi pemilihan umum. Masyarakat yang ingin berpartisipasi dalam pemilu ini dapat bergabung dengan meng-klik tombol "add application" lalu mengijinkan agar KPU selaku pengelola aplikasi untuk mengakses data-data pribadinya dan meletakkan 'shortcut' aplikasi pemilu tadi di halaman muka-nya.
Lalu setiap penduduk yang ingin membantu KPU dalam mensosialisasikan pemilu dapat merekomendasikan dan mengajak teman-temannya juga dengan mengirimkan 10 application invitation ke 10 teman setiap harinya. Tentu saja mereka yang hendak ber-golput ria tak perlu meng add aplikasi ini. Dan tentunya tersedia juga aplikasi untuk pilkada.
Parpol, capres, cagub dan caleg dapat berkampanye dengan membuat group-group tertentu, atau berorasi dan menyebar janji dengan mem-post buletin-buletin. Lalu mereka dapat melihat animo masyarakat dengan mengirimkan invitation untuk menjadi 'Fan' mereka. Jadi jangan kaget jika misalnya saja anda dikirimi invitation oleh seseorang bernama "Susilo" untuk "becoming a fan for SBY".
Keunggulan cara ini adalah:
1. Segala kerumitan menyelenggarakan pemilu yang selama ini dilakukan oleh KPU dapat diatasi.
2. Tak ada lagi tender tinta, tender kertas suara, bilik suara, dan sebagainya. Korupsi pun tentunya dapat dikurangi.
3. Situs jejaring sosial dengan member 200 juta orang lebih akan mendatangkan pemasukan bagi pemerintah, bayangkan income dari static banner, flash banner, atau iklan pay per clickyang akan dipasang di situs tersebut.
4. Pemerintah dapat menggunakannya sebagai pemantau. Pemerintah dapat mengetahui siapa saja yang golput (yang tdk men-add aplikasi pemilu), juga siapa saja yang terlibat dengan jaringan terorisme, dengan cara melihat friend list setiap orang, siapapun yang mencantumkan - katakanlah - alm. Imam Samudra dalam friendlistnya, berarti ia adalah teroris.
Lebih jauh lagi adalah dengan metode-metode alternatif yang saya sajkan, kita dapat menunjukkan keunggulan kita sebagai bangsa yang cerdas dengan mengaplikasikan sistem pemilihan umum yang juga cerdas dan inovatif yang juga ditunjang dengan sistem infrastruktur yang menawan dan menakjubkan.